Di tengah kota yang hiruk-pikuk, berdirilah sebuah perusahaan bernama Mentari Sejahtera. Perusahaan ini dulu dikenal sebagai tempat yang hangat—di mana kerja tim, semangat, dan kekeluargaan menjadi budaya yang dibanggakan. Tapi sejak beberapa tahun terakhir, semuanya mulai berubah.
Pemimpin perusahaan, Pak Arman, adalah orang yang cerdas dan penuh semangat. Ia memulai kariernya dari bawah, bekerja keras hingga akhirnya dipercaya memimpin kantor cabang terbesar. Namun dalam perjalanan menuju kesuksesan, tanpa ia sadari, ia mulai berubah.
Demi mengejar target dan keuntungan perusahaan, Pak Arman menjadi sangat fokus pada hasil. Ia sering lupa menyapa pegawai, memperpanjang jam kerja tanpa bayaran, menunda pemberian bonus, dan bahkan membatasi cuti pegawainya dengan alasan efisiensi. Semua dilakukan demi “kinerja terbaik”, tapi ia lupa: kantor bukanlah mesin, melainkan tempat hidup manusia yang juga punya batas.
Hari demi hari, pegawai mulai kehilangan senyum mereka. Dulu kantor dipenuhi tawa dan ide-ide segar, kini yang terdengar hanya ketikan lelah dan desahan napas berat. Tapi tak ada yang berani bicara. Mereka takut dianggap melawan, takut kehilangan pekerjaan.
Hingga suatu hari, seorang staf muda bernama Dina, yang dikenal tekun dan rendah hati, memberanikan diri mengirim surat kepada Pak Arman. Isinya bukan keluhan, melainkan curahan hati.
“Pak Arman, kami bangga bekerja di sini. Kami ingin terus memberi yang terbaik. Tapi akhir-akhir ini, kami merasa seperti hanya angka di laporan. Kami bekerja tanpa henti, lembur tanpa kompensasi, janji bonus tak ditepati, dan cuti yang tertunda terus. Padahal kami tahu, kerja keras harus dibarengi dengan keadilan. Kami tak minta istimewa, kami hanya ingin hak kami dihargai…”
Malam itu, Pak Arman membaca surat itu sendirian di ruang kerjanya. Ia memandang foto timnya di dinding: wajah-wajah yang dulu ceria, kini mulai hilang. Ia teringat masa-masa awal, ketika dirinya pun pernah diperlakukan tak adil oleh atasannya dulu. Ia bersumpah saat itu akan jadi pemimpin yang lebih baik. Tapi sekarang, ia malah mengulangi kesalahan yang sama.
Keesokan harinya, sesuatu yang tak biasa terjadi. Pak Arman memanggil seluruh pegawai ke ruang pertemuan. Ia berdiri di depan semua orang, membuka pidatonya bukan dengan perintah—melainkan dengan permintaan maaf.