Hujan baru saja berhenti ketika Amira menuruni tangga kayu rumah panggungnya. Udara pagi masih terasa dingin, tetapi aroma tanah basah yang khas menyegarkan indera penciumannya. Ia membawa keranjang kecil berisi pakaian yang harus dicucinya di sungai. Jalannya perlahan menyusuri jalan setapak yang licin, diapit pohon-pohon rindang yang berdesir pelan.
Sesampainya di tepi sungai, Amira dikejutkan oleh jejak kaki yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Jejak itu besar, seperti milik seorang pria dewasa, tapi terlihat tidak wajar. Bentuknya aneh, dengan empat jari yang panjang dan sedikit melengkung. Amira menoleh ke sekeliling, mencoba memastikan apakah ada orang lain di sana. Namun, hanya suara air sungai yang terdengar, menenangkan sekaligus menciptakan rasa curiga.
Dengan ragu, Amira mengikuti jejak itu. Langkahnya berhati-hati, menghindari bebatuan yang licin. Jejak kaki itu menuju hutan yang lebih dalam. Semakin jauh ia berjalan, semakin sunyi suasana sekitarnya. Tak ada suara burung atau desiran angin, hanya langkah kakinya yang terdengar. Ketika ia hendak berhenti dan berbalik, ia melihat sesuatu di kejauhan: sebuah gubuk tua yang tampak seperti sudah lama ditinggalkan.
Amira berdiri di depan pintu gubuk itu, ragu untuk masuk. Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia mendorong pintu kayu yang sudah lapuk, dan bunyi deritannya menggema di telinganya. Di dalam, hanya ada meja kecil, kursi tua, dan tumpukan kain yang sudah penuh debu. Tapi sesuatu menarik perhatiannya: sebuah buku catatan yang tergeletak di atas meja.
Amira membuka buku itu. Halaman-halamannya penuh dengan coretan tangan yang aneh, seolah ditulis dengan tergesa-gesa. Dalam salah satu halaman, ada gambar jejak kaki yang sama seperti yang ia lihat di tepi sungai, disertai catatan pendek: “Dia datang di malam gelap.”
Amira merasakan bulu kuduknya meremang. Ia segera menutup buku itu dan keluar dari gubuk. Namun, sebelum ia sempat menjauh, ia mendengar suara langkah di belakangnya. Ia berbalik, tapi tidak ada siapa-siapa. Perasaannya semakin tidak enak. Dengan cepat, ia kembali ke sungai, lalu pulang ke rumah. Namun, jejak itu tetap menghantuinya. Malam itu, ia tidak bisa tidur, memikirkan apa yang sebenarnya ia temukan di hutan.
Penulis: Sumadi, S.Pd