Mahasiswa sering kali disebut sebagai agen perubahan (agent of change) dalam sistem demokrasi. Sejarah mencatat peran besar mereka dalam berbagai momentum penting bangsa, seperti reformasi 1998, gerakan anti-kolonial, dan berbagai aksi sosial lainnya. Namun, di tengah arus digitalisasi dan pragmatisme modern, muncul pertanyaan: apakah mahasiswa masa kini masih memegang peran sebagai motor perubahan?
Peran mahasiswa dalam politik nasional tak hanya dilihat dari aksi demonstrasi semata. Lebih dari itu, mereka memiliki potensi besar dalam membangun gagasan kritis, menyuarakan keadilan sosial, serta ikut mengawal kebijakan publik. Lewat organisasi intra dan ekstra kampus, mahasiswa dapat menjadi penyalur aspirasi masyarakat yang tidak terwakili oleh elite politik.
Sayangnya, semakin banyak mahasiswa yang bersikap apatis terhadap isu politik. Banyak yang lebih memilih fokus pada dunia akademik, karier, atau aktivitas di media sosial tanpa keterlibatan langsung dalam proses politik. Hal ini diperparah oleh stereotip negatif terhadap aktivis kampus, serta minimnya ruang dialog politik yang sehat di lingkungan akademik.
Untuk mengembalikan peran strategis mahasiswa, dibutuhkan iklim kampus yang mendukung kebebasan berpikir dan berpendapat. Kampus harus menjadi ruang terbuka bagi diskusi lintas pandangan, seminar kebangsaan, serta pelatihan kepemimpinan yang membentuk karakter kritis dan demokratis. Selain itu, perlu ada jaminan keamanan dan non-diskriminasi bagi mahasiswa yang aktif menyuarakan kritik terhadap pemerintah.
Keterlibatan mahasiswa juga bisa diperluas lewat partisipasi dalam forum legislatif kampus, kolaborasi riset kebijakan dengan lembaga negara, hingga pelatihan advokasi publik. Media kampus dapat dijadikan alat untuk menyampaikan kritik konstruktif, mengedukasi publik, dan mengawal isu-isu penting seperti lingkungan, HAM, atau korupsi.
Era digital memberi peluang baru bagi mahasiswa untuk membangun gerakan politik yang lebih luas dan kreatif. Melalui kampanye digital, petisi online, dan diskusi daring, mahasiswa bisa menjangkau lebih banyak audiens. Namun, untuk efektif, semua ini harus diiringi dengan pemahaman politik yang dalam dan etika komunikasi publik yang kuat.
Kesimpulannya, mahasiswa tetap memiliki potensi besar dalam perubahan politik nasional. Tantangannya kini adalah bagaimana membangkitkan kembali kesadaran politik di tengah godaan pragmatisme dan kenyamanan digital. Dengan pendidikan politik yang benar dan dukungan lingkungan yang kondusif, mahasiswa akan tetap menjadi penjaga moral dan penggerak demokrasi Indonesia.
Editor: Madi