Tidak ada yang mengharap terlahir sebagai yatim. Apalagi ditambah piatu. Dan air mata kerinduan selalu terpancar jika bertanya kemana atau bagaimana orang tua di sana. Apakah kita tega membiarkan “air matanya” terus mengalir? Keyatiman seorang anak sudah menjadi air mata dalam hidupnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam begitu perhatian dengan anak yatim. Beliau selalu memberi harapan dan pelindung kepada mereka. Bersedia memposisikan sebagai bapak.
Anak yatim bukan berarti harus dimanja. Dipenuhi segala permintaan. Justru seperti ini membuat ke depan jadi sulit. Tidak bisa berkompetisi. Hanya mengandalkan bantuan.
Akan sedikit berbeda jika terlahir sebagai orang kaya. Anak yatim tersebut tidak terlalu terlunta-lunta. Jika miskin, maka hidup kemungkinan besar akan ditampung di panti asuhan. Mengarahkan menjadi mandiri. Baik mandiri secara mental maupun ekonomi. Baik secara sosial maupun agama. Mengubah anak yatim secara mental. Membangkitkan jiwa mereka. Tidak meratapi nasib. Berbangga dengan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala.
Cukupkah jika berurusan dengan mereka hanya memberi sedekah saja? Setelahnya kita pulang, tidur dan merasa puas sudah dianggap dermawan? Ini sudah klasik.
Rasulullah bersabda, “Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api.” (HR At-Tirmidzi). Jika tujuan adalah dosa yang terhapus, cukup dengan taubat. Apalagi sedekah hanya mampu menghapus dosa kecil, sedangkan dosa besar dengan taubat nasuha.
Sedekah terbaik yang digambarkan dalam Al Quran sedikit berbeda. Ada tambahan dengan sebutan pinjaman terbaik. Terbaik tidak berhenti dari apa yang dipunya. Tapi apa yang dikhawatirkan juga diberikan.