2. Tradisi Nusantara dan Melayu
Di Nusantara, pelaminan dan busana pengantin berakar pada sistem kerajaan yang berorientasi spiritual.
Sartono (2023) dalam Estetika Adat Nusantara (hlm. 134) menyebut pelaminan sebagai “arsitektur suci” yang memadukan unsur bumi, langit, dan manusia.
Di kerajaan-kerajaan Melayu, pelaminan disebut singgahsana adat, tempat pengantin diperlakukan sebagai raja dan ratu sehari (Abdullah, Malay Court Ceremonies, 2021, hlm. 73).
Dalam budaya Melayu Jambi, pelaminan bermakna rumah baru yang diliputi restu dan doa.
Husin (2022) dalam Warisan Adat Melayu Jambi (hlm. 68) menjelaskan, pelaminan adalah lambang keagungan cinta dan kesetiaan dalam bingkai marwah Melayu. Warna emas menandakan kemuliaan, merah keberanian, dan putih kesucian.
B. Sejarah Pelaminan Pengantin dan Baju Adat: Dunia, Nusantara, dan Jambi
1. Dunia
Dalam sejarah peradaban Mesir dan Yunani kuno, pelaminan melambangkan kesatuan spiritual dan sosial. Cooper (2021) dalam Ritual and Symbolism in Ancient Civilizations (hlm. 112) menulis bahwa “kursi pengantin adalah altar cinta dan pengorbanan.”
Di Cina, pelaminan merah disertai simbol naga dan burung phoenix, tanda harmoni dan kesuburan (Chen, Chinese Wedding Customs, 2022, hlm. 55).
2. Nusantara
Pelaminan dan busana pengantin di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Hindu, Islam, dan tradisi lokal.
Sartono (2023) menegaskan bahwa arsitektur pelaminan kerajaan menggambarkan hubungan vertikal (dunia spiritual) dan horizontal (sosial kemasyarakatan) (hlm. 137).
Dalam budaya Melayu Riau dan Palembang, pelaminan dihiasi kain songket emas, bunga melati, dan tabir bertingkat lima (Rahman, Songket Melayu sebagai Warisan Budaya, 2023, hlm. 44).







