Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd. (Rio Tanum Cendikio Agamo)
A. Hikmah Pelaminan Pengantin dan Baju Adat: Teori dan Makna Adat Dunia, Timur Tengah, Nusantara, dan Melayu Jambi
Pelaminan dan baju adat adalah bahasa budaya yang menggambarkan martabat, kehormatan, dan pandangan hidup suatu bangsa. Dalam teori simbolik Clifford Geertz (1973) dalam The Interpretation of Cultures (hlm. 5), budaya dipahami sebagai jejaring makna yang diciptakan manusia, dan simbol-simbol upacara pernikahan merupakan “teks sosial” yang menuturkan nilai-nilai luhur masyarakatnya.
Dalam kebudayaan dunia, pelaminan dikenal sebagai pavilion of blessing, panggung sakral penyatuan dua insan. Victor Turner (1985) dalam Dramas, Fields, and Metaphors (hlm. 41) menyebut upacara pernikahan sebagai ritual of transition, tempat manusia diangkat statusnya dari pribadi menjadi wakil nilai sosial.
1. Tradisi Timur Tengah dan Jejak Islam
Dalam tradisi Arab klasik, pelaminan disebut ‘Ars al-‘Urs (عرس العُرس) — singgasana kebahagiaan dan kehormatan.
Ibn Khaldun (2021) dalam Muqaddimah (hlm. 214) menjelaskan bahwa pelaminan adalah “majelis kemuliaan keluarga” tempat para tamu memuliakan pengantin dan keluarganya.
Di Timur Tengah, warna putih, emas, dan hijau dipilih karena menyimbolkan kesucian, kemuliaan, dan kehidupan (Habib, Islamic Wedding Customs of the Middle East, 2021, hlm. 33).
Nilai Islam menjadikan pelaminan bukan sekadar ruang hias, tetapi manifestasi barakah, kehadiran rahmat Allah di tengah masyarakat. Dalam Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali (2022, hlm. 145) menegaskan bahwa pakaian dan perhiasan dalam pernikahan bukan untuk kesombongan, melainkan ungkapan syukur atas nikmat cinta yang halal.







