Kekalahan Trump: Di Tengah Pertarungan Digital

Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd Tenaga Ahli Gubernur Jambi, Ketua ICMI Orwil Jambi – Guru Besar UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Foto: Diskominfo Provinsi Jambi

Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif (Guru Besar UIN STS Jambi)

Rekam jejak Donald Trump sejak 2016 hingga kontestasi terakhirnya merupakan anomali abadi dalam sejarah politik Amerika Serikat. Ia sukses meruntuhkan norma-norma politik tradisional dan menggantinya dengan gaya populisme radikal yang berfokus pada keluhan (grievance politics) kelas pekerja kulit putih serta kelompok konservatif evangelis (Rasmussen, 2024: 110).

Keberhasilannya terletak pada kemampuannya membangun basis loyalitas personal yang tidak terikat pada Partai Republik, melainkan pada figur Trump itu sendiri. Fenomena ini—yang disebut sebagai cult of personality—menciptakan perpecahan yang tak terhindarkan di tubuh partai dan masyarakat (Chen & Lee, 2025: 45).

Baca Juga :  Transformasi Digital di Sektor Perbankan: Tren dan Tantangan

1. Kekalahan Politik di New York: Trump Meradang

Narasi populisme Trump tak bisa dilepaskan dari drama politik yang dihadapinya di markas Demokrat. Kekalahan politik dalam Pemilihan Wali Kota New York City baru-baru ini menjadi pukulan telak bagi pihak yang didukungnya.

Calon yang diusung Trump kalah telak melawan Zohran Mamdani, seorang Demokrat progresif (CNBC Indonesia, 5 November 2025). Reaksi Trump bukan diam, melainkan marah—ia mengancam akan memotong miliaran dolar dana federal untuk kota New York.

Kekalahan di “halaman belakang” ini dimanfaatkan sebagai bukti bahwa dirinya adalah korban kriminalisasi politik oleh Deep State (Miller, 2023: 89). Reaksi emosional tersebut memperkuat ikatan dengan basis loyalisnya, mengubah kekalahan lokal menjadi amunisi naratif berskala nasional.

Baca Juga :  Pemprov Jambi Dorong UMKM Maju Tingkatkan Ekonomi

2. Kekalahan Digital dan AI di Akar Rumput: Batasan Grievance Politics Trump

Kekalahan di New York juga menandakan keunggulan strategi digital lawan di level akar rumput. Ini merupakan kekalahan digital dan AI bagi kubu Trump dalam konteks micro-targeting politik lokal.

Kecanggihan digital lawan tidak terletak pada retorika figur sentral seperti Trump, tetapi pada efisiensi dan presisi analitik yang didukung AI untuk memperkuat grassroots (Miller, 2023: 95; Sharma, 2024: 193).

Sementara narasi grievance Trump kuat secara nasional, pihak lawan justru menggunakan teknologi AI dan analitik data untuk: