Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP
Akademisi UIN STS Jambi
Narasi pelarangan tenaga ahli gubernur yang belakangan muncul di ruang publik sesungguhnya tidak memiliki pijakan regulatif yang valid maupun rasionalitas kebijakan yang memadai. Posisi tenaga ahli merupakan bagian integral dari arsitektur tata kelola pemerintahan modern, terutama dalam memastikan kualitas analisis, konsistensi perencanaan, dan kecermatan pengambilan keputusan strategis.
Karena itu, wacana yang berusaha meniadakan peran tenaga ahli bukan hanya menyimpang dari kerangka hukum yang berlaku, tetapi juga mengabaikan kebutuhan objektif pemerintahan daerah terhadap kapasitas teknis yang mampu menjaga mutu kebijakan. Dalam konteks pembangunan daerah yang semakin kompleks dan berbasis data, keberadaan tenaga ahli bukan sekadar opsional, melainkan elemen penyangga yang menentukan efektivitas dan ketepatan arah kebijakan gubernur.
Dengan pemahaman tersebut, penting untuk memberikan penjelasan yang tepat terkait interpretasi yang berkembang mengenai kebijakan pemerintah pusat pada 2024–2025 mengenai pengangkatan tenaga ahli dan staf khusus, sehingga regulasi dan praktik yang sebenarnya dapat dipahami secara akurat dan rasional secara argumentatif.
Interpretasi bahwa sepanjang 2024–2025 pemerintah pusat melarang kepala daerah mengangkat tenaga ahli dan staf khusus setelah pelantikan adalah penyederhanaan yang menyesatkan dan tidak memiliki dasar regulatif. Tidak satu pun produk hukum, baik Menpan RB maupun BKN yang menyatakan larangan terhadap keberadaan Tenaga Ahli Gubernur. Penegasan BKN semata-mata berkaitan dengan aspek akuntabilitas pengangkatan, yakni memastikan bahwa tenaga ahli tidak dijadikan instrumen untuk kepentingan politik tertentu, bukan meniadakan jabatan tenaga ahli itu sendiri. Fakta regulatif dan urgensi peran tenaga ahli ini sekaligus menegaskan pentingnya ruang dialog publik sebagai mekanisme untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas kebijakan.
Dalam konteks penguatan tata kelola yang transparan, inklusif, dan berbasis data, ruang dialog publik seperti Diskusi Rabuan Series berperan penting sebagai mekanisme kontrol sosial yang konstruktif. Sebagai bagian dari upaya memperluas diskursus publik yang sehat, forum ini mendapat perhatian positif dari berbagai elemen, termasuk lembaga yang selama ini menjadi penjaga keterbukaan informasi di daerah. Forum Diskusi Rabuan tidak hanya menjadi wahana berbagi pandangan, tetapi juga medium untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan langkah pemerintah dapat dipahami secara transparan oleh masyarakat.
Komisioner Komisi Informasi (KI) Provinsi Jambi, Indra Lesmana, menegaskan bahwa Komisi Informasi mendukung penuh forum seperti ini karena sejalan dengan spirit UU Keterbukaan Informasi Publik. Setiap warga berhak memperoleh informasi yang jelas, akurat, dan dapat diakses, termasuk terkait kebijakan serta program pemerintah. Keterbukaan ini tidak semata-mata memenuhi hak publik, tetapi juga memperkuat partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja badan publik. Ia juga mengapresiasi terselenggaranya Diskusi Rabuan Series, yang dinilainya sebagai tradisi baru yang positif dan ruang dialog konstruktif yang membantu menerjemahkan visi–misi Jambi Mantap 2025–2029 yang diinisiasi oleh Tim Ahli Gubernur (TAG) Jambi (Sumber: Jamberita, laporan tentang apresiasi KI terhadap Diskusi Rabuan Series) (2025).
Hal ini menunjukkan bahwa dukungan Komisi Informasi menegaskan urgensi ruang-ruang diskusi seperti Diskusi Rabuan Series sebagai bagian krusial dari ekosistem tata kelola pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Forum ini sekaligus memperkuat legitimasi peran Tenaga Ahli Gubernur sebagai pilar analisis kebijakan yang tidak hanya bekerja di balik meja, tetapi juga memastikan bahwa setiap rekomendasi, kajian, dan kebijakan beresonansi dengan kebutuhan publik dan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Konsistensi terhadap prinsip transparansi tersebut menuntut adanya landasan kelembagaan yang kuat, sehingga peran tenaga ahli tidak hanya legitimate secara politik, tetapi juga terstruktur secara regulatif dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang efektif.
Secara regulatif, posisi tenaga ahli memiliki dasar hukum yang sangat jelas. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk membentuk perangkat pendukung sesuai kebutuhan. PP Nomor 18 Tahun 2016 mempertegas bahwa struktur pemerintahan dapat diperkuat oleh tenaga pendukung demi optimalisasi fungsi-fungsi pemerintahan.
Dalam kerangka regulasi yang lebih tinggi, terdapat Keppres Nomor 68 Tahun 2001 yang mengatur tugas dan fungsi staf khusus di lingkungan pemerintahan. Yang lebih spesifik lagi, Permendagri Nomor 134 Tahun 2018 secara rinci mengatur kedudukan, tugas, fungsi, mekanisme pengangkatan, hingga batas kewenangan staf khusus gubernur. Jika memang pemerintah pusat melarang tenaga ahli, tentu Permendagri tersebut tidak berlaku hingga hari ini.
Pemerintah pusat bahkan menegaskan urgensinya. Surat Edaran Mendagri Nomor 061/4211/SJ Tahun 2021 menekankan pentingnya tenaga ahli untuk mendukung tata kelola yang efektif. UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 juga memberikan ruang bagi tenaga ahli sebagai unsur profesional pendukung kinerja pemerintahan.
Regulasi lain seperti Perpres Nomor 47 Tahun 2009 serta PermenPAN RB Nomor 7 Tahun 2013 memberikan pedoman mekanisme pengangkatan staf khusus di kementerian/lembaga, yang dapat menjadi rujukan di tingkat daerah.
Dengan seluruh kerangka hukum tersebut, jelas bahwa tenaga ahli bukan penunjukan politis yang melanggar efisiensi ataupun aturan pusat. Sebaliknya, keberadaan Tenaga Ahli Gubernur merupakan bagian integral dari tata kelola pemerintahan modern yang bekerja berdasarkan data, analisis, dan profesionalitas.
Karena itu, narasi bahwa tenaga/tim ahli harus dihentikan karena larangan BKN, Menpan RB tidak memiliki landasan regulatif. Yang ada adalah ajakan agar pengangkatan dilakukan secara akuntabel dan tidak menjadi alat politik. Selama berada dalam koridor regulasi, keberadaan Tenaga Ahli Gubernur tetap sah, relevan, dan berkontribusi langsung pada efektivitas birokrasi dan kualitas kebijakan publik.
Secara keseluruhan, diskursus mengenai keberadaan Tenaga Ahli Gubernur tidak semestinya direduksi menjadi persoalan politis jangka pendek, melainkan harus ditempatkan dalam kerangka tata kelola pemerintahan modern yang mengutamakan data, analisis, dan akuntabilitas. Dengan fondasi regulatif yang kokoh dan mandat kerja yang terukur, tenaga ahli berfungsi sebagai policy enabler yang memperkuat kapasitas gubernur dalam merumuskan keputusan strategis yang berdampak langsung pada publik.
Dalam konteks Jambi hari ini, kehadiran tenaga ahli bukan sekadar elemen administratif, tetapi instrumen penting yang memastikan arah pembangunan berjalan presisi, partisipatif, dan selaras dengan visi Jambi Mantap 2025–2029. Karena itu, narasi pelarangan yang tidak berdasar bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga tidak relevan dengan kebutuhan tata kelola daerah yang semakin kompleks dan berbasis bukti. Jambi membutuhkan pemerintahan yang bergerak dengan keyakinan pada kekuatan analisis dan inovasi dan dalam ekosistem tersebut, peran Tenaga Ahli Gubernur menjadi akselerator yang memperkuat optimisme menuju kemajuan yang lebih terukur, inklusif, dan berkelanjutan.







