Waktu itu, sekira sepuluh tahunan yang lalu. Beliau pulang agak malam. Saya juga baru pulang dari pengajian. Kami bertemu di dekat meja makan. Saya bilang ke beliau, “Pak, ngaji kitab yang kemarin sudah khatam. Kata pak Ustad nanti ngaji kitab yang baru. Kitabnya kami belum beli.”
Bapak hanya diam. Tapi saya melihat ada rasa bahagia di wajah beliau. Saya tahu dia sangat senang saat saya khatam mengaji suatu kitab. Bahkan, waktu tau saya khatam mengaji kitab Jurmiyah (salah satu referensi gramatika bahasa arab), beliau memberi saya uang, untuk membeli sarung baru.
Biasanya, kalau rezeki sedang lapang, kebutuhan mengaji yang saya pinta langsung dipenuhi. Tapi, malam itu beliau hanya jawab dengan nada pelan, “Nanti yo. Paling besok lah ado duit.”
Dari jawaban itu saya tahu, beliau sedang tidak memegang uang. Meskipun waktu itu beliau menjabat sebagai Asisten II Setda Walikota, saya tahu betul keadaan “kantong” beliau.
Beberapa hari setelahnya, bapak ngasih duit ke saya. Untuk beli kitab yang sebelumnya saya pinta. Dari beberapa lembar uang yang beliau pegang, saya dikasih secukupnya. Dilebihkan sedikit dari nominal yang saya pinta.
Moment itu membuat saya sedikit baper. Hampir mewek tepatnya. Teman saya yang lain, bisa dengan mudah gonta-ganti hp kalau dia minta pada orang tua. Tapi saya, beli kitab untuk mengaji saja harus menunggu beberapa hari. Apalagi untuk kebutuhan tersier lainya.
“Angel, Angel… Wes… Angel…”
Terkadang naluri muda saya membuat “baper”. Tapi, naluri santri yang ditananamkan kiai saya justru membuat saya bersyukur: Bapak yang sering saya repotin untuk urusan pendidikan dan kebutuhan buku itu, masih memegang prinsipnya. Prinsipnya sebagai santri yang tidak mencari rezeki di luar hak yang harus ia terima.