Penyelenggara diskusi virtual mengundang Teguh karena selain berprofesi sebagai wartawan dan pengelola media, Teguh dinilai memiliki pengalaman langsung dalam hal diplomasi.
Ia mendalami sejumlah isu internasional seperti sengketa Sahara Barat dan konfilik di Semenanjung Korea.
Untuk sengketa Sahara Barat, ia pernah diundang PBB untuk berbicara di Komisi IV PBB yang membidangi masalah politik khusus dan dekolonisasi. Pada tahun 2010 Teguh mendirikan Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko dan masih menjadi presiden di organisasi itu.
Sementara untuk konflik di Semenanjung Korea, pengalaman Teguh terbilang unik. Ia dapat mengunjungi kedua negara itu dan berkomunikasi dengan pejabat dan masyarakat di kedua Korea. Sejak 2009 Teguh dipercaya sebagai Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea.
Tahun lalu dirinya diundang menjadi pembicara dalam seminar internasional mengenai proses perdamaian di Semenanjung Korea yang diselenggarakan organisasi wartawan Korea Selatan.
Teguh mengatakan, praktik jurnalistik masih kerap menggunakan combative lens, yang melihat dialog sebagai sebuah pertempuran yang harus berakhir dengan kemenangan dan kekalahan. Hal ini membuat objektivitas menjadi kabur bahkan hilang.
“Terlalu banyak informasi yang ditulis wartawan yang menggunakan combative lens. Seolah-olah setiap dialog harus diakhiri dengan siapa yang menang dan siapa yang kalah,” ujar mantan Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat ini.
Teguh mencontohkan bagaimana respon kalangan wartawan dan media mengenai kabar kematian pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, yang begitu ramai di bulan April lalu.