Sadar akan hal ini, beberapa media di Amerika Serikat membuat pedoman bagi jurnalisnya dalam penggunaan media sosial. The New York Times misalnya, mengubah pedoman penggunaan media sosial bagi jurnalisnya pada 2017 lalu. Pedoman tersebut menekankan agar jurnalis tidak boleh mengungkapkan pendapat partisan, mempromosikan pandangan politik, mendukung kandidat, dan memberi komentar. Beberapa media di Indonesia pun kini mengikuti langkah yang dilakukan The New York Times.
Apakah dampak negatif ini berarti bahwa jurnalis tidak boleh berpendapat di media sosial? Hal ini tentu tidak masuk akal. Jurnalis tentu boleh menyatakan sikap politiknya. Yang tidak boleh adalah menanggalkan profesinya.
Pasalnya, profesi jurnalis bukanlah profesi yang berhenti selepas jam kerja. Profesi ini menuntut mereka yang menekuninya untuk terus menjaga nilai-nilai independensi tidak peduli ruang dan waktu. Karenanya, bukan soal jurnalis berkoar di media sosial atau tidak, melainkan cara bagaimana ia berkoar.
Sikap dan pandangan politik bukanlah melulu soal deklarasi diri bahwa “saya pilih si A,” “saya dukung si B,” atau “mari kita kawal si C.” Keberpihakan bukan sekadar memiliki kecenderungan terhadap individu atau golongan, yang tergabung dalam sebuah organisasi politik.
Sebagaimana produk jurnalisme mesti dipisahkan dari favoritisme, begitu juga sikap dan komentar jurnalis di media sosial. Bagaimana caranya? Dengan mengkritisi kebijakan. Ini yang kadang terlupa, atau mungkin dilewatkan. Jurnalis dituntut untuk skeptis, dan selalu menguji kebijakan yang dibuat penyelenggara kekuasaan. Bukan ikut jadi “tim hore” penguasa atau oposisi, menyembah tokoh penguasa, dan sebaliknya.