Gaya Hidup yang Diromantisasi
Media sosial sering kali menjadi panggung pertunjukan gaya hidup. Banyak orang menampilkan versi terbaik dari hidup mereka—makanan mahal, liburan mewah, barang-barang branded—dan menekankan pada pencitraan, bukan kenyataan. Gaya hidup seperti ini disebut hedonisme, yang mengutamakan kesenangan pribadi di atas segalanya.
Namun, ketika hedonisme dipamerkan secara berlebihan, hal ini bisa berdampak negatif pada orang lain. Konten semacam itu menciptakan standar kebahagiaan semu, dan membuat banyak orang merasa bahwa hidup mereka kurang layak jika tidak seindah yang terlihat di layar.
Tekanan Sosial yang Tidak Disadari
Tak jarang, orang-orang yang melihat konten tersebut merasa tertinggal. Mereka berpikir harus ikut memiliki barang mewah, gaya hidup glamor, atau pencitraan sempurna demi bisa diterima di lingkungannya. Akhirnya, banyak yang memaksakan gaya hidup di luar batas kemampuannya. Entah itu dengan cara berutang, menunda kebutuhan penting, hingga mengorbankan stabilitas mental dan finansial.
Fenomena ini telah dikenal luas sebagai “social comparison trap” atau jebakan perbandingan sosial. Orang merasa gagal hanya karena tidak bisa menyamai pencapaian atau penampilan orang lain di media sosial, padahal kehidupan di balik layar sering kali berbeda jauh dari realita.
Dampak Terhadap Empati Sosial
Gaya hidup hedonis yang terus dipertontonkan juga bisa menurunkan empati sosial. Orang-orang menjadi lebih individualis, fokus pada pencitraan diri ketimbang kepedulian terhadap sesama. Mereka lupa bahwa di sekitar masih banyak yang berjuang untuk kebutuhan pokok. Gaya hidup pamer membuat jarak antara kelompok masyarakat semakin lebar, dan empati yang semestinya dibangun, justru tergerus oleh gaya hidup palsu.