Jika korupsi masih banyak maka hanya ada tiga kemungkinan penyebabnya. Pertama, masih ada masalah dalam regulasi. Kedua, ada masalah dalam pelembagaan demokrasi. Ketiga, budaya antikorupsi belum tumbuh subur dan mapan di tengah masyarakat kita.
Di sisi lain, transparansi dan keterbukaan di era demokrasi seharusnya juga berdampak pada kualitas pejabat publik. Sayangnya dalam praktik yang kerap terjadi, calon pejabat publik bukanlah seseorang yang memiliki kapasitas yang memadai karena merupakan hasil dari politik transaksional.
Untuk mendapatkan pemimpin berkualitas, seharusnya tidak ada lagi pilkada, pileg dan pilpres yang membutuhkan ongkos politik yang mahal, sehingga pemimpin yang terpilih tidak tersandera kepentingan pihak lain.
“Selama ini (syarat untuk menjadi pejabat publik) harus ada popularitas, elektabilitas, kapasitas, lalu isi tas. Sekarang dibalik. Isi tas duluan, baru yang lain-lain,” ujarnya.
“Kita ingin pilkada, pileg, pilpres, nol threshold-nya. Tidak boleh ada. Bukan hanya threshold yang nol persen, biaya politik juga harus nol rupiah,” kata dia lagi.
Pada bagian lain, Firli Bahuri kembali mengingatkan, upaya memberantas korupsi di tanah air bagai orkestrasi yang melibatkan semua sistem.
Itulah sebabnya, laporan Firli Bahuri kepada Presiden Joko Widodo dalam rangka peringatan Hakordis 2021 di Gedung KPK yang diselenggarakan Kamis pagi (9/12) diberi judul “Satu Padu Bangun Budaya Anti Korupsi.”
“Kita bisa melepas jerat korupsi yang melilit negara dan bangsa ini dengan orkestra sistem integritas nasional. Kita bersatu padu membangun budaya anti korupsi,” ujarnya sambil menambahkan bahwa okestrasi itu dipimpin oleh Presiden RI.