Selain itu, kata dia, saat ini para korban sedang diambang ketidakpastian. Padahal, di masa pandemi, pengaduan kasus kekerasan makin meningkat. Alhasil, ada yang tidak tertangani karena ketiadaan payung hukum yang komprehensif.
Untuk itu, Satywanti menekankan pentingnya hukum yang berpihak pada korban agar terdapat perlindungan yang utuh bagi korban. Selain itu, untuk memutus rantai kekerasan seksual dan menghadirkan pemulihan yang menyeluruh bagi korban.
“Hukum seharusnya tidak hanya berpikir untuk menindak pelaku. Pemulihan korban menjadi sesuatu yang penting karena akan membuat korban jadi pulih dan dapat meneruskan kehidupannya yang baik di masa datang,” ujarnya.
Menurut dia, fenomena gunung es masih terjadi dalam kasus kekerasan seksual. Jumlah kasus yang tidak terlaporkan lebih banyak daripada yang dilaporkan.
Sebab, adanya anggapan tabu atau aib yaitu apabila disampaikan akan mempermalukan warga, institusi, dan lingkungan. Selain itu, ada ketidakpercayaan bahwa kasusnya akan diproses serta perspektif aparat penegak hukum terkait kekerasan seksual.
Tindak dengan tegas
Ketua DPR RI Puan Maharani mengajak seluruh pihak untuk mengkampanyekan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperingati setiap tanggal 25 November ini, Puan juga mengajak seluruh elemen bangsa bersama-sama menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan.
“Peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan harus menjadi momentum untuk mencegah dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.
Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI ini mengajak seluruh masyarakat membangun kesadaran atas bentuk-bentuk kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan. Ia menilai edukasi sejak dini mengenai pencegahan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan.