Tak sedikit anak muda yang rela berutang hanya demi mempertahankan gengsi sosial. Mereka membeli barang bermerek, mengikuti tren mahal, atau tampil “wah” di media sosial, padahal penghasilan tidak memadai. Inilah gaya hidup salah yang bisa menghancurkan masa depan.
Gengsi muncul karena tekanan lingkungan dan keinginan untuk diakui. Namun, gaya hidup seperti ini hanya menimbulkan beban mental dan keuangan. Banyak dari mereka yang akhirnya stres karena tak sanggup membayar utang atau hidup melebihi kemampuan.
Daripada mengejar validasi sosial, anak muda sebaiknya fokus pada pertumbuhan diri. Gunakan uang untuk hal produktif seperti pendidikan, tabungan, atau modal usaha. Hidup sederhana bukan berarti miskin, tapi justru bentuk kedewasaan dalam mengelola hidup.
Fenomena ini juga menunjukkan adanya krisis identitas. Banyak anak muda merasa bahwa mereka harus selalu tampil sempurna agar dihargai. Padahal, nilai diri sejati bukan terletak pada apa yang tampak, melainkan apa yang dicapai.
Gaya hidup penuh gengsi juga rentan menimbulkan persaingan tidak sehat antar teman sebaya. Mereka berlomba-lomba pamer, bukan berkolaborasi. Ini bisa memperburuk solidaritas sosial dan menumbuhkan rasa iri.
Menghindari gengsi dimulai dari menerima diri sendiri dan memahami bahwa nilai seseorang tak ditentukan oleh apa yang dipakai, tapi oleh apa yang dilakukan dan dicapai.
Editor: Madi