Kedua : dalam hubungan legislative dan eksekutif, maka kebijakan publik yang diambil eksekutif memang semestinya diawasi legislative. Namun tingginya tarik menarik dan konflik legislative dan eksekutif dalam presidensialisme kompromis menyebabkan pemerintahan berjalan tidak efektif, bahkan hak angket dan penarikan dukungan selalu menjadi alat bagi partai untuk bernegosiasi dengan presiden (Hanta Yuda dalam Retno Saraswati, 2012).
Ketiga: Proses pemberhentian atau penjatuhan presiden dalam sistem pemerintahan parlementer relative lebih muda disbanding sistem presidensial.
Sistem pemerintahan presidensial secara prinsip menitik beratkan pada pemisahan kekuasaan secara berimbang dimana eksekutif tidak memiliki wewenang untuk membubarkan parlemen (DPR) dan sebaliknya presiden atau eksekutif pun tidak harus berhenti walaupun telah kehilangan dukungan dari mayoritas suara di parlemen (DPR) mendukung presiden.
Serta anggota legislative dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya dan secara umum keinginan partai politik membubarkan koalisi lebih kuat dalam system presidensial (Yulies Tiena Masriani, 2009).
Di parlemen partai politik membawa visi dan misi partai sebagai bentuk kebijakan bagi publik dalam sebuah realisasi pemerintahan. Sehingga partai politik di parlemen tidak proporsional dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam pemerintahan yang berjalan baik dalam posisi ataupun sebagai koalisi.