Pilihan Berisiko: Mantan Pencandu Narkoba dan Isu Moralitas di Pilkada 2024

Syaiful Bakri : sidakpost id/ist

Di satu sisi, memilih mantan pencandu narkoba sebagai pemimpin daerah bisa menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Seorang mantan pencandu mungkin saja memiliki kerentanan terhadap godaan yang lebih besar, seperti tekanan dari jaringan narkoba atau kepentingan gelap lainnya. Ada risiko bahwa ia bisa kembali terjerumus ke dalam lingkaran yang sama, terlebih jika berhadapan dengan tekanan politik yang besar dan tuntutan dari berbagai pihak.

Lebih dari itu, memilih mantan pencandu narkoba bisa memberikan preseden buruk dalam dunia politik. Ini seolah mengirimkan pesan bahwa sejarah buruk seseorang tidak lagi menjadi pertimbangan penting dalam memilih pemimpin.

Baca Juga :  Nilai Program Lebih Merakyat, Tomas Dusun Lubuk Beringin Ajak Dukung JADI

Dampaknya bisa berujung pada penurunan standar moral dan etika dalam politik, di mana rekam jejak kelam dianggap sepele asalkan memiliki modal politik atau popularitas yang memadai.

Selain itu, hal ini juga bisa melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Ketika seorang mantan pencandu narkoba bisa lolos menjadi calon pemimpin daerah, masyarakat mempertanyakan kredibilitas proses seleksi dan verifikasi yang dilakukan oleh partai politik maupun lembaga terkait.

Baca Juga :  Jasa Raharja dan PT Jasa Raharja Putera Tandatangani Perjanjian Kerja Sama

Keputusan seperti ini bisa memperkuat persepsi bahwa politik lebih mengutamakan kepentingan praktis dan pragmatis dibandingkan dengan kualitas moral dan integritas calon pemimpin.

Selain dari sudut pandang politik, kekhawatiran serupa muncul dari perspektif kesehatan masyarakat, yang melihat dampak lebih luas dari keputusan tersebut.

Narkoba tidak hanya meninggalkan jejak pada reputasi, narkoba tidak hanya merusak fisik, tetapi juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan psikologis seseorang dalam jangka panjang.