Namun, pengakuan ini harus diperoleh dengan cara yang sah serta tidak melanggar hak asasi manusia. Pengakuan RH ini memicu perdebatan di tengah masyarakat. Banyak yang mempertanyakan, apakah seseorang yang pernah terjerumus dalam ketergantungan narkoba layak diberi kesempatan untuk memimpin daerah? Skeptisisme muncul dari sebagian besar masyarakat, yang meragukan apakah mantan pecandu memiliki kapasitas dan kestabilan mental untuk memikul tanggung jawab sebesar itu. Namun, di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa setiap individu, termasuk mantan pecandu, layak diberi kesempatan kedua, asalkan mereka telah membuktikan diri mampu melepaskan diri dari ketergantungan, dengan dukungan bukti yang valid.
Perdebatan ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih mendalam. Apakah keputusan ini merupakan bentuk perjudian politik model baru, di mana partai atau tim sukses berani mempertaruhkan masa depan daerah dengan mempercayakan kepemimpinan selevel provinsi pada seseorang yang memiliki riwayat sebagai pengguna narkoba? Dukungan yang diberikan padanya seolah menunjukkan adanya pergeseran nilai dalam politik, di mana masa lalu yang kelam tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam menilai kelayakan seorang calon pemimpin.
Risiko kambuh pada mantan pencandu narkoba tidak bisa dianggap remeh.
Berdasarkan berbagai penelitian, mantan pencandu memiliki kemungkinan untuk kembali menggunakan narkoba, terutama jika mereka berada dalam situasi stres atau tekanan berat. Posisi kepala daerah yang penuh dengan tantangan tentu menimbulkan risiko yang lebih tinggi.
Dalam konteks ini, penting untuk mempertanyakan, seberapa besar kesiapan mental dan emosional seorang mantan pencandu untuk menghadapi godaan di tengah tekanan politik dan beban tanggung jawab yang besar?
Kasus ini menjadi dilema etis bagi para pemilih.