Pilihan Berisiko: Mantan Pencandu Narkoba dan Isu Moralitas di Pilkada 2024

Syaiful Bakri : sidakpost id/ist

Oleh: Syaiful Bakri

Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J) Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulawesi Selatan (Sulsel) menyampaikan hasil pemeriksaan calon kepala daerah untuk Pilkada 2024.

Dari hasil tes, Wakil Bupati Maros Suhartina Bohari dinyatakan positif mengandung metamfetamin atau sabu. Temuan ini mengejutkan banyak pihak, mengingat Suhartina merupakan salah satu kandidat yang digadang-gadang memiliki peluang besar dalam kontestasi Pilkada mendatang.

BNN menyatakan bahwa hasil tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan rutin yang dilakukan terhadap seluruh calon kepala daerah guna memastikan integritas dan kelayakan mereka dalam menjalankan tugas pemerintahan. Menyusul pengumuman ini, sejumlah pihak mendesak agar dilakukan investigasi lebih lanjut terkait dugaan penyalahgunaan narkoba tersebut.

Baca Juga :  Pemkab dan Polres Bungo Teken MoU Dana Hibah Pengamanan Pilkada

Tidak hanya itu, berbagai spekulasi bermunculan mengenai dampak temuan ini terhadap elektabilitas Suhartina di tengah masyarakat Maros.
Kasus ini tidak hanya menjadi sorotan di tingkat daerah, tetapi juga menarik perhatian publik di tingkat nasional, mengingat pentingnya peran kepala daerah dalam memerangi penyalahgunaan narkoba.

Dengan adanya kasus ini, isu tentang integritas calon kepala daerah kembali menjadi sorotan utama. Pilkada 2024 di Maros tampaknya akan semakin dinamis, dengan masyarakat yang kini lebih kritis dalam menilai para kandidat yang akan memimpin daerah mereka ke depan.

Baca Juga :  Pemerintah Desa Senaung Maksimalkan Pembangun di Tahun 2022

Dinamika serupa terjadi di Jambi, ketika seorang calon gubernur, RH, secara terbuka mengakui dirinya sebagai mantan pecandu narkoba melalui sebuah podcast bersama Pangeran Siahaan yang ditayangkan di YouTube. Meskipun demikian, ia tetap dinyatakan lolos seleksi sebagai calon kepala daerah. Di Indonesia, pengakuan pelaku diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 184, yang menyebutkan bahwa pengakuan dapat dijadikan salah satu alat bukti.