Dalam konteks ini, pernyataan tersebut dapat menjadi hambatan dalam menciptakan pembangunan yang sejati, yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan hak yang setara bagi semua lapisan masyarakat, tanpa membedakan status kelompok.
Jika pengakuan terhadap kelompok minoritas dilakukan tanpa disertai upaya nyata untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, maka ini dapat memperkuat stereotip dan memperburuk ketimpangan sosial serta ekonomi.
Selain itu, pernyataan tersebut dapat mempertegas pembagian antara “minoritas yang dihargai” dan “mayoritas yang dianggap lebih dominan,” yang pada gilirannya dapat menambah ketegangan antar kelompok masyarakat.
Pembagian yang berlebihan ini tidak hanya mempengaruhi pembangunan fisik, tetapi juga dapat menghambat integrasi sosial yang lebih harmonis. Sebaliknya, pembangunan yang inklusif harus memandang semua kelompok baik mayoritas maupun minoritas sebagai bagian dari suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Penting untuk diingat bahwa dalam masyarakat yang adil, pembangunan tidak seharusnya didasarkan pada status mayoritas atau minoritas, melainkan pada kemampuan untuk memberikan kesempatan yang setara bagi semua warga negara untuk berkembang.
Dengan memandang pembangunan dalam kerangka yang lebih luas, tanpa terikat oleh batasan etnis, agama, atau kelompok tertentu, setiap individu terlepas dari latar belakang mereka dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang inklusif, yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan bersama.
Untuk mencapai pembangunan yang inklusif dan berkeadilan, penting untuk menghindari pemisahan yang didasarkan pada status mayoritas atau minoritas.