- Janji yang Berulang, Solusi yang Tak Kunjung Datang
Faisal Akbar Awaludin, anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Sukabumi, mengaku memahami perjuangan para guru honorer karena pernah merasakan menjadi guru honorer sendiri. Namun, apakah pemahaman ini cukup untuk menghasilkan perubahan nyata?
“Saya dulu juga guru honorer. Saya tahu rasanya bekerja dengan gaji minim, menunggu janji yang entah kapan ditepati. Saya ingin semua guru honorer diangkat menjadi PPPK penuh waktu, karena saya tahu perjuangan mereka,” ujar Faisal.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa empati saja tidak cukup. Sudah bertahun-tahun guru honorer dijanjikan kepastian status, tetapi hingga kini mereka masih harus turun ke jalan untuk memperjuangkan hak mereka. Jika empati tidak diikuti dengan langkah konkret dan kebijakan yang berpihak, maka pernyataan semacam ini hanya akan menjadi bagian dari siklus janji tanpa realisasi.
Kenyataannya, banyak guru honorer yang telah mengabdi lebih dari 10 tahun tetapi masih belum mendapatkan kepastian status. Padahal, mereka adalah tulang punggung pendidikan di daerah, terutama di wilayah terpencil yang kekurangan tenaga pendidik tetap. Jika pemerintah benar-benar menghargai pendidikan sebagai prioritas, seharusnya nasib para guru honorer tidak terus dibiarkan dalam ketidakpastian seperti ini.
Penutup: Akankah Perjuangan Ini Berbuah Hasil?
Perjuangan guru honorer bukan sekadar persoalan gaji atau status kepegawaian, tetapi lebih dari itu—ini adalah perjuangan atas keadilan dan penghargaan terhadap profesi yang menjadi fondasi utama pendidikan di negeri ini.
Sudah terlalu banyak janji yang diberikan, terlalu sering aspirasi mereka didengar tetapi tidak diindahkan. Aksi turun ke jalan hanyalah bentuk lain dari keputusasaan mereka terhadap sistem yang terus mengabaikan pengabdian mereka selama bertahun-tahun. Jika pemerintah benar-benar menghargai pendidikan, maka mereka harus membuktikannya dengan kebijakan nyata, bukan sekadar pernyataan simpati tanpa solusi konkret.
Kini, nasib ribuan guru honorer kembali berada di persimpangan jalan. Apakah pemerintah akan menjadikan perjuangan mereka sebagai titik awal perubahan, ataukah ini hanya akan menjadi babak baru dalam siklus ketidakpastian yang terus berulang?
Waktu akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan berhenti berjuang.
Kesimpulan dan Refleksi
Perjuangan guru honorer di Kabupaten Sukabumi adalah gambaran nyata dari ketidakadilan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi justru dihadapkan pada kebijakan yang tidak berpihak, seperti skema PPPK paruh waktu yang dinilai merugikan. Ketimpangan dalam kebijakan ini semakin menegaskan bahwa sistem belum mampu memberikan kepastian dan kesejahteraan yang layak bagi para tenaga pendidik.
DPRD dan pemerintah daerah memang menyatakan dukungan terhadap aspirasi para guru honorer, tetapi kenyataannya, keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah pusat. Janji-janji yang terus diulang tanpa solusi nyata hanya akan memperpanjang ketidakpastian dan meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika benar ada niat untuk memperbaiki nasib guru honorer, maka kebijakan yang berpihak harus segera diwujudkan, bukan sekadar menjadi wacana tanpa kepastian.
Refleksi dari peristiwa ini adalah bahwa perjuangan guru honorer bukan hanya tentang status pekerjaan, tetapi juga tentang penghargaan terhadap pendidikan itu sendiri. Bagaimana mungkin sebuah negara berharap memiliki generasi yang cerdas dan berdaya saing, jika tenaga pendidik yang menjadi ujung tombaknya tidak diberikan kesejahteraan dan kepastian hukum yang layak?
Saatnya pemerintah, baik daerah maupun pusat, berhenti mengulur waktu dan benar-benar mendengar suara mereka. Jika pendidikan adalah investasi masa depan, maka sudah seharusnya mereka yang mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan mendapatkan tempat yang lebih layak, bukan hanya dipandang sebagai pekerja sementara yang dapat diganti kapan saja.
Disusun Oleh: Farin Anjani Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB