- Ketidakadilan dalam Kebijakan PPPK
Guru honorer menuntut agar mereka diangkat sebagai ASN PPPK penuh waktu, bukan sekadar tenaga paruh waktu dengan hak yang lebih sedikit. Mereka merasa bahwa kebijakan ini justru merugikan mereka yang telah lama mengabdi, sementara di daerah lain ada yang mendapatkan skema penuh waktu tanpa kendala.
“Bagaimana mungkin kami yang sudah mengajar bertahun-tahun, membangun generasi, malah dianggap seolah hanya pekerja sementara? Pendidikan itu bukan pekerjaan paruh waktu, lalu kenapa kami diperlakukan seperti tenaga kontrak yang bisa habis masa berlakunya?” ujar Deril Sukma, Koordinator Aksi.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan terbatas dalam menentukan status PPPK. Namun, perbedaan kebijakan antara daerah satu dan lainnya memunculkan pertanyaan besar: mengapa tidak ada standar yang jelas dan adil bagi guru honorer di seluruh Indonesia?
Lebih dari sekadar perbedaan kebijakan, masalah ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menata sistem kepegawaian tenaga pendidik. Jika ada daerah yang mampu mengangkat guru honorer menjadi ASN PPPK penuh waktu, mengapa daerah lain tidak bisa? Apakah ini hanya soal anggaran, atau ada faktor lain yang menyebabkan guru honorer terus-menerus berada dalam ketidakpastian?
Ketidakjelasan inilah yang membuat para guru honorer merasa hak mereka diabaikan. Bagi mereka, perjuangan ini bukan hanya tentang kesejahteraan pribadi, tetapi juga tentang keadilan bagi seluruh tenaga pendidik yang telah berkontribusi dalam membangun masa depan bangsa.
- Tanggapan DPRD dan Pemerintah Daerah
Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi, Budi Azhar Mutawali, menyatakan akan memperjuangkan aspirasi guru honorer ke pemerintah pusat. Namun, realitasnya, kebijakan terkait PPPK berada di tangan Kementerian PAN-RB dan Kementerian Dalam Negeri. Artinya, ada batasan dalam kewenangan DPRD dan pemerintah daerah untuk mengambil keputusan konkret terkait status guru honorer.
“Kami akan membawa aspirasi ini ke pusat. Namun, perlu dipahami bahwa keputusan akhir tetap ada di pemerintah pusat. Kami hanya bisa mengawal dan memperjuangkan agar suara para guru honorer ini didengar,” kata Budi dalam audiensi dengan perwakilan massa aksi.
Namun, pernyataan tersebut masih menyisakan keraguan. Guru honorer sudah sering kali mendengar janji serupa dari berbagai pejabat daerah, tetapi solusi konkret tetap belum terlihat. Mereka menginginkan kebijakan nyata, bukan sekadar wacana yang berulang dari tahun ke tahun.