Jurnalistik dan Pilkada

Namun sebagai “news”, jurnalis mempunyai “kemerdekaan” untuk melihat dari berbagai sudut (angle). Cara melihat “angle” membuktikan jurnalis yang sudah mempunyai jam terbang, teknis pengemasan, pemilihan judul hingga penggunaan narasi mempertajam peristiwa.

Atau dengan kata lain, tugas tim pemenangan telah “selesai’ ketika mengabarkan “news” oleh kandidat. Sehingga jurnalis mempunyai “kemerdekaan” untuk “memilah”, “memilih bahkan “menentukan news’ yang akan digunakan.

Cawe-cawe “mengatur” urusan redaksi selain akan “mengganggu” kemerdekaan jurnalis juga “merusak” mood dari pembaca. Sehingga justru akan membuat “media massa” Cuma sebagai corong dari kepentingan kandidat.

Baca Juga :  Minibus Wuling Cium Bodi Truk Sawit, 2 Penumpang Meninggal Dunia

Padahal pilkada adalah berita politik yang paling ditunggu masyarakat. Ditengah “mendap dirumah”, berita-berita politik adalah “konsumsi” masyarakat untuk mengusir kejenuhan. Sekaligus juga mengukur kadar dari kualitas kandidat sebelum dipilih 9 Desember.

Namun yang paling merusak, ketika “cawe-cawe” menentukan pemberitaan. Termasuk mengatur “pemilihan judul”, mengganti judul, meminta mengganti photo kandidat, mengatur pemberitaan dan kemudian “memarahi” jurnalis.

Selain cara ini “mengancam” kemerdekaan pers itu sendiri, cara-cara ini justru menyebabkan media massa jatuh di titik nadir. Dan itu sungguh berbahaya bagi demokrasi itu sendiri.

Baca Juga :  Al Haris-Sani Tiba Berbarengan di Rumah PAN Sambut Kedatangan Zulhas

Dan jurnalis yang merdeka dan profesionalisme akan menolak “cara-cara kotor”. Selain merusak makna demokrasi itu sendiri, kemerdekaan jurnalistik justru berani berhadapan melawan kepongahan. Termasuk menolak campur tangan “cawe-cawe” mengenai dapur redaksi dan pemberitaan. Dan “cara pandang (angle)” yang dipilih oleh sang jurnalis itu sendiri.