Jika seorang mantan pecandu menunjukkan perubahan signifikan dari segi moralitas, perilaku, dan kepemimpinan, masyarakat mungkin bisa melihatnya sebagai simbol harapan dan pembuktian bahwa setiap orang berhak memperbaiki diri.
Moralitas dan etika politik bangsa ini sedang diuji. Oleh karena itu, partai politik sebagai lembaga rekrutmen dan kaderisasi pemimpin bangsa harus bertindak dengan tepat.
Mereka bertanggung jawab untuk memunculkan pemimpin yang bukan hanya kompeten, tetapi juga bersih bukan hanya dari tindak pidana korupsi, tetapi juga dari penyalahgunaan narkoba. Kegagalan dalam menyeleksi pemimpin yang bersih mencerminkan lemahnya mekanisme seleksi partai, serta menunjukkan bahwa tujuan kaderisasi belum sepenuhnya tercapai.
Pemimpin yang bersih dari narkoba bukan sekadar tuntutan ideal, melainkan suatu keharusan jika kita ingin membangun bangsa yang sehat secara moral dan politik. Pemimpin dengan integritas moral yang tinggi akan mampu membuat keputusan yang tepat demi kesejahteraan rakyatnya. Kepemimpinan yang baik harus dibangun di atas pondasi kejujuran, tanggung jawab, dan komitmen terhadap nilai-nilai etika dan hukum.
Narkoba tidak hanya menghancurkan individu, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Ketika seorang pemimpin terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, dampaknya lebih luas daripada sekadar persoalan pribadi. Ia menjadi simbol kegagalan sistem politik dan sosial yang seharusnya menjaga moralitas dan integritas publik. Masyarakat kehilangan kepercayaan, sementara kehormatan lembaga yang diwakili oleh pemimpin tersebut ternoda.
Pemimpin bukan sekadar sosok yang berkuasa, tetapi cerminan dari harapan dan kepercayaan rakyat. Dalam dunia yang penuh tantangan ini, bangsa kita membutuhkan figur-figur yang tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki moralitas yang tak tercela. Narkoba menghancurkan bukan hanya individu, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap sistem politik dan pemerintahan.