Pernah Pula Jadi Penjual Martabak
Haris bergabung dengan penjual martabak di Pasar Bawah, beruntung Anik dan Halim, dua pedagang martabak asal Padang (Sumatera Barat), menerimanya dengan tangan terbuka, keduanya bahkan mempersilakan Haris tinggal bersama mereka.
Anik dan Halim dengan sabar mengajarinya meracik bumbu, mengaduk tepung, menggoreng, sampai menyajikan martabak yang siap santap. Haris dengan semangat melakukan itu semua dengan pemikiran sederhana, “Kalau Sampai SK PNS di RRI tidak keluar, setidaknya aku bisa melanjutkan hidup dengan berjualan martabak”.
Dia membuang impian muluk-muluk. Dia sadar, sejak dari kecil sampai sekarang kesederhanaan telah menjadi teman akrabnya. Kesederhanaan ini pulalah yang kelak akan dibawanya sampai dia menjadi sosok disegani di Pemerintah Provinsi Jambi.
Tiga bulan berdagang martabak di Pasar Bawah, mereka bertiga pindah ke Pasar Baru, saat itulah Maret 1992, SK di RRI Jambi keluar. Dia dinyatakan diterima dan diangkat sebagai PNS Golongan I sebagai staf teknis dengan job operator studio. Gaji pertama yang diterimanya hanya Rp. 36.000. cukuplah untuk bertahan hidup.
Haris ditempatkan di pemancar RRI Mendalo, selama bertugas, dia tinggal di rumah orang tua angkat, Basir Manan, sepupu H Samsudin Uban, mantan Bupati Sarko tahun 1970-an. Tiga bulan di Mendalo, dia dipindahtugaskan ke RRI Telanaipura sebagai operator studio. Di sanam, sehari-hari dia bertugas mengatur jadwal acara, musik dan kapan penyiar harus bicara saat tayang. Haris mengontrak bedeng dibelakang RRI Telanaipura.
Suatu pagi, ketika berjalan di depan RRI, Haris berpapasan dengan Kepala Stasiun (Kepsta) baru pindahan dari RRI Bogor. Di sinilah dia merasakan betapa keberuntungan sangat dekat dengan dirinya yang sederhana. Kepsta itu bertanya kepadanya tentang tempat tinggal, setelah dijawabnya, Kepsta itu menawarkan agar Haris menemaninya tinggal di rumah dinas sampai istrinya yang di Bogor pindah ke Jambi.