Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd.(Guru Besar UIN STS Jambi)
Pendahuluan: Patriotisme di Persimpangan Era
Setiap tanggal 10 November, Indonesia merayakan Hari Pahlawan, mengenang kembali dentuman meriam yang menggetarkan Surabaya pada 1945. Momen ini selalu menjadi waktu untuk merenungkan makna spirit patriotik yang diwariskan para pendahulu. Namun, di tahun 2025, refleksi ini terasa berbeda. Kita berada di tengah pusaran spirit digital yang masif, sebuah era di mana medan perjuangan tak lagi berada di parit-parit pertahanan, melainkan di lini masa (timeline), server, dan platform media sosial.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Apakah spirit patriotik kepahlawanan masih sama di tengah spirit digital yang serba cepat dan individualistik? Apakah terjadi pergeseran yang signifikan dalam cara generasi muda menghayati dan mengaplikasikan nilai-nilai kepahlawanan? Pergeseran ini bukan berarti lenyapnya semangat, melainkan transformasinya, dari perjuangan fisik menuju perjuangan kognitif dan karakter di ruang siber (Budiman, 2018, hlm. 155). Esai ini akan mengupas dikotomi sekaligus sintesis antara semangat heroik tradisional dan tantangan pahlawan kontemporer di era digital.
Tantangan Spirit Pahlawan Generasi Z, Alpha, dan Beta
Generasi Z (Gen Z), Gen Alpha, dan sebentar lagi Gen Beta, adalah anak-anak kandung teknologi. Bagi mereka, kepahlawanan sering kali dikontekstualisasikan ulang. Tantangan utama bagi mereka bukanlah mengusir penjajah fisik, tetapi melawan tirani informasi (hoaks), krisis identitas akibat perbandingan sosial di media, dan polarisasi digital.
Spirit pahlawan bagi Gen Z dan Alpha mungkin termanifestasi sebagai “Pahlawan Digital”: mereka yang berani menyuarakan kebenaran (digital activism), melawan cyberbullying, menciptakan konten edukatif yang melestarikan budaya, atau menjadi whistleblower terhadap ketidakadilan. Tantangannya adalah menjaga agar likes dan followers tidak menggantikan motivasi murni pengorbanan tanpa pamrih yang menjadi inti dari kepahlawanan sejati.
Spirit perjuangan telah berubah dari war of bullets menjadi war of keyboards (Li, 2020, p. 545; Pramono & Hidayat, 2022, hlm. 50). Generasi ini dituntut untuk memiliki Etika Digital dan Kewarganegaraan Digital yang kuat (Susanto, 2024).







