Menghidupkan Ketahanan Pangan Indonesia dengan memperhatikan Kesejahteraan Petani

SIDAKPOST.ID – Indonesia dahulu kala dikenal dengan negeri yang agraris. Dengan kata lain merupakan negara subur dan menghasilkan pangan secara mandiri, serta masyarakatnya banyak menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian.

Namun kini, gelar negeri agraris itu seakan semakin memudar. Apalagi, berkaca pada pertumbuhan sektor pertanian selama masa pandemi Covid-19 yang semakin berjarak dengan kesejahteraan.

Memang, data memaparkan bahwa pertanian mampu tumbuh sebesar 16,4 persen di tengan pandemi. Akan tetapi, dampak pertumbuhan itu tidak dirasakan oleh petani. Justru, mereka mengalami kerugian, apalagi dengan penerapan PPKM yang menyulitkan mobilitas dan membuat hasil pangan rusak sebelum terjual. Harga hasil bumi pun anjlok.

Baca Juga :  Babinsa Sertu Zainal Ikhwan Gelar Komsos Bersama Warga Terkait Kekeringan Lahan Sawah

Nilai Tukar Petani Hortikultura (NTPH) per Juli 2021 NTPH 101,45, sementara itu ada penurunan tercatat di Agustus sebesar 100,01 dan menjadi 98,65 di September. NTPH pun menjadi lebih tinggi dibanding pendapatan petani, yaitu di bawah 100.

Padahal, seperti seluruh lapisan masyarakat lainnya, petani membutuhkan kesejahteraan yang terjamin. Terlebih, jika mereka dijadikan tulang punggung kemandirian pangan bangsa. Utamanya bagi petani miskin yang baru bisa merasakan “perut kenyang” saat masa panen tiba.

Baca Juga :  Tak Ditolelir Lagi, Polisi Libas 10 Unit Rakit Peti di VII Koto

Sejauh ini, pemerintah memang telah menyiapkan berbagai program untuk terus mendorong Indonesia memiliki ketahanan pangan yang kuat. Namun, sepatutnya sebelum itu dilakukan, yang didorong adalah kesejahteraan petani.

Indonesia memiliki Badan Pangan Nasional untuk menangani berbagai permasalahan di sektor pangan. Lalu, bagaimana dengan urusan perut petani? Bagaimana pun, petani adalah profesi yang menjadi ujung tombak pangan negara.