Opini  

RH dan Paradoks Kekuasaan: Melawan atau Bagian dari Penguasa?

Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP Akademisi UIN STS Jambi. Foto : sidakpost.id/ist

Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP Akademisi UIN STS Jambi

Manusia adalah makhluk yang menggunakan kata-kata, mempermainkan kata-kata, dan dipermainkan oleh kata-kata. Ludwig Wittgenstein, seorang filsuf berpengaruh, menekankan bahwa kata-kata bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga elemen esensial dalam cara manusia memahami dunia. Dalam karyanya yang terkenal, Philosophical Investigations, Wittgenstein menggambarkan bahasa sebagai “permainan” yang tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga selalu terikat pada konteks dan situasi tertentu. Ia berargumen bahwa manusia memahami dunia serta sesamanya melalui kata-kata yang dipilih dan digunakan dalam berbagai situasi.

Baca Juga :  Perjalanan Betuah (30)

Dengan kata lain, kata-kata bukan hanya media komunikasi, melainkan instrumen yang dapat mengolah, membentuk, dan bahkan mengubah makna. Dalam permainan kata-kata ini, bahasa menjadi seni di mana pengucapan, pilihan kata, dan konteks penggunaan memiliki peran penting dalam membentuk realitas.
Sebagaimana kata-kata memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman kita tentang dunia, demikian pula dalam dunia politik, bahasa menjadi alat yang kuat untuk memengaruhi dan membangun citra.

Baca Juga :  Di Tengah Pandemi Pemuda Pedesaan Tak Malu Berkarya Disektor Pertanian

Pemimpin politik menggunakan kekuatan kata-kata untuk membangun kepercayaan dan menunjukkan komitmen kepada masyarakat. Contoh nyata bisa kita lihat pada sosok RH, Bupati Tanjung Jabung Timur dua periode, yang dalam sebuah pernyataan menjelang Pilgub Jambi menegaskan bahwa kepercayaan rakyat kepadanya tidak akan ia khianati. Saat melantik tim pemenangan, ia menekankan, “Saya tidak akan pernah mengkhianati kalian, terutama rakyat. Saya akan melawan dan menentang para penguasa yang menyalahgunakan wewenang mereka. Saya akan berjuang sampai akhir.”